Our social:

Minggu, 19 Februari 2017

Wisata Bukittinggi Sumatera Barat



Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di Sumatera Barat Indonesia, dengan populasi lebih dari 117.000 orang dan luas 25,24 km². Kota Bukittinggi dapat ditempuh 90 km melalui jalan darat dari ibukota Sumatera Barat Padang. Seluruh daerah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam, terletak antara Gunung Singgalang (tidak aktif) dan Gunung Marapi (masih aktif) Pada 930 m di atas permukaan laut, kota ini memiliki iklim yang sejuk dengan suhu antara 16,1 ° sampai 24,9 ° C. Kota ini merupakan tempat kelahiran dari beberapa pendiri Republik Indonesia, seperti Mohammad Hatta dan Assaat.

Bukittinggi sebelumnya dikenal sebagai Fort de Kock dan pernah dijuluki "Parijs van Sumatera". Kota ini merupakan ibukota Indonesia selama Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sebelum menjadi ibukota PDRI, kota ini adalah pusat pemerintahan, baik pada saat Hindia Belanda dan selama masa penjajahan Jepang.

Bukittinggi juga dikenal sebagai kota wisata terkemuka di Sumatera Barat. Banyak tujuan wisata yang ada di Kota ini, salah satunya Jam Gadang, sebuah menara jam yang terletak di jantung kota, dan ini adalah simbol bagi kota Bukittinggi. Berikut adalah tempat wisata yang ada di Bukittinggi Sumatera Barat :

1. Jam Gadang (Jam Besar) 



Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi Sumatera Barat Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".

Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.

Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.

Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.


2. Janjang Saribu (Tangga Seribu)


Janjang Saribu, atau Janjang Koto Gadang, adalah salah satu obyek wisata yang terdapat di Ngarai Sianok, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. janjang saribu ini berawal dari Koto Gadang di lembah Ngarai Sianok berakir naik ke Bukiktinggi. Janjang Saribu ini memiliki panjang lebih kurang 780 m, dengan lebar 2 m, bertembok beton hampir menyerupai dengan Tembok Besar di Cina. Di tengah-tengah janjang ini terdapat sebuah jembatan gantung yang dinamai Jambatan Sirah. Dari ujung ke ujung, perjalanan untuk melintasi janjang ini kira-kira memakan waktu 15-30 menit.



janjang ini telah ada sejak Penjajahan Belanda yang dulu diberi nama Janjang Batuang, karna janjang ini terbuat dari tanah dengan penopang batuang (bambu). Dulu jembatan ini digunakan oleh masyarakat setempat sebagai jalan pintas dari Koto Gadang menuju Bukittinggi dan untuk mengambil pasir disungai. Pemerintah Kabupaten Agam mengadakan program renovasi jembatan ini untuk destinasi Wisata Baru di Bukittinggi dan diresmikan oleh Menkominfo Tifatul Sembiring pada tanggal 27 Januari 2013

3. Goa Jepang 

Lubang Jepang Bukittinggi (gua Jepang) adalah salah satu objek wisata sejarah yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk kepentingan pertahanan.


Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.



Selain lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.
 

Diperkirakan puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan Pulau Biak.

4. Benteng Fort de Kock


Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.

Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock.


Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-1837. Di sekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.

5. Jembatan Limpapeh


Jembatan Limpapeh merupakan sebuah jembatan gantung yang melintas di atas Jl. Ahmad Yani Bukittinggi, yang menghubungkan kawasan Benteng Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Jembatan Limpapeh yang dibuat 16 tahun lalu ini ditopang ditengahnya oleh bangunan beton beratap gonjong khas Minangkabau, serta oleh empat kabel baja tempat bergelantungnya kawat-kawat baja yang memegang jembatan.

Bangunan beton ditengah jembatan inilah yang ditembus oleh Jl. Ahmada Yani. Karenanya, saya mulai memotret Jembatan Limpapeh dari Jl. Ahmad Yani, dan baru kemudian memotret Jembatan Limpapeh ini dari dalam kawasan Benteng Fort de Kock, ketika berjalan kaki melintasinya menuju ke Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang berada di seberang jalan.

0 komentar:

Posting Komentar

Attention
Komentar anda sangat diharapkan agar blog ini menjadi blog yang lebih baik. dan diharapkan juga untuk Memberi Koment Yang Membangun, no spam ya Gan

admin rustihell