Anda dan Internet
Internet, satu kata namun sejuta fungsi. Tidak dapat kita pungkiri lagi di era digital seperti sekarang ini kehadiran internet sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hal sosial maupun dalam hal bisnis. Internet layaknya pisau bermata dua dan kedua bilah mata pisau itu dapat menghantam diri pribadi sejak pertama kali menyentuh dan memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya. Uniknya, bukan hanya hasil positif saja yang didapat melainkan juga hasil negatif. Maka dapat juga dikatakan, internet satu kata namun sejuta akibat.
Kira-kira apa saja dampak-dampak yang dihasilkan oleh internet itu?
Zaman sudah berganti dan peradaban sudah semakin maju. Di hadapan kita begitu banyak berseliweran informasi-informasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Informasi bergulir setiap harinya, tanpa mengenal jarak dan waktu lagi. Internetlah yang menjembatani perguliran infomasi tersebut. Maka barang siapa ketinggalan informasi, bukan hanya menjadi manusia kuno bahkan memaksa manusia tersebut tertinggal oleh peradaban.
Dampak Terhadap Diri Pribadi.
Dalam dampak terhadap diri pribadi, sebagai contoh kasus Mbak Prita Mulyasari yang kembali diangkat dan mengguncangkan dunia warta Indonesia. Kisah hidup Mbak Prita merupakan contoh konkrit bagi kita, namun lain daripada itu internet justru menebar ancaman terhadap perkembangan diri pribadi terlepas dari segi jerat hukum pidana.
Menurut riset Nicholas Carr dalam bukunya yang berjudul “The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains”, internet dapat mengubah cara kerja otak kita. Lebih jauh lagi, internet memaksa kita untuk menelan informasi-informasi yang berseliweran itu secara instan, cepat dan massal sehingga membuat fikiran kita mudah teralihkan.
Tetapi tidak perlu ditakutkan, segalanya di dunia ini memang seimbang. Kebaikan tidak ada tanpa adanya keburukan, bukankah demikian? Maka tak perlu mengkhawatirkan akan dampak terhadap pribadi ini, sebab semua itu tergantung bagaimana kita me-manage diri kita sendiri sebagai pengguna.
Dampak Terhadap Kondisi Negara.
Bukan hanya terhadap diri pribadi, tetapi internet juga berdampak terhadap kondisi stabilitas sebuah negara baik dalam bidang sosial, ekonomi dan yang lebih parahnya lagi sampai memberikan dampak pada kondisi politik politik. Semua dampak yang diberikan tak lepas dari keseimbangan, yakni positif dan negatif. Contohnya Malaysia yang baru-baru ini mengalami gejolak politik dan sempat menjadi headline berita di Indonesia. Di negara-negara lain yang sempat mengalami keadaan serupa, seperti Yaman, Libya, Tunisa, Mesir, juga terpengaruh oleh dampak yang dihasilkan oleh internet.
Untuk meminimalisir adanya dampak terhadap stabilitas nasional, jelas dibutuhkan sesuatu gerakan konkrit dari pemerintah, contohnya pengawasan terhadap konten internet. Pengawasan terhadap konten internet ini sendiri bukanlah hal yang baru di Indonesia. Semenjak adanya aksi pornografi, pornoaksi, korban kekerasan baik dalam rumah tangga maupun terhadap anak, korban human traffic (penjualan manusia), hingga aksi terorisme maka pengawasan terhadap konten internet pun diperketat. Pun begitu, masyarakat Indonesia masih dapat bersyukur karena di Indonesia yang menjunjung asas demokrasi belum me-mati total-kan akses internet.
Jejaring sosial adalah sasaran utama pengawasan tersebut. Pasalnya, kecepatan tersebarnya sebuah informasi melalui media sosial adalah jalan lain yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan dapat menjadi ancaman terselubung bagi stabilitas sebuah negara. Ya, kita sudah mengetahui tentang boomingnya facebook beberapa tahun lalu. Dan semenjak itu, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga orangtua Indonesia berlomba-lomba mendaftar dan membuat akun facebook. Belum lagi ada twitter, tempat dimana orang dengan bebas berceloteh sesuka hati.
Sehingga para elit politik negara pun seolah ‘gerah’ dengan aksi bebas berekspresi di jejaring sosial ini, sebab dahulu masyarakat Indonesia mengeluarkan kritik-kritik mereka terhadap pemerintah melalui jalur konvensional seperti DPR atau dapat dikatakan tepat sasaran, tetapi sekarang tidak perlu repot-repot karena cukup dengan update status ataupun update twit. Jangankan sistim pemerintahan, pencipta facebook sendiri pun yang sering merubah-rubah tampilannya acap kali menjadi sasaran kritik oleh para penggunanya. Lucu memang, para penikmat fasilitas gratis mengajukan kritik kepada penyedia fasilitas gratis tersebut, tetapi itulah kenyataannya. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia kini lebih pandai dan kritis.
Di beberapa negara maju, filterisasi terhadap media sosial juga terjadi. Hal ini diperuntukkan mengontrol kejahatan, pembajakan, melawan terorisme dan lain sebagainya. Sebagaimana telah dilansir oleh vivanews.com yang mengutip dari MSNBC, 14 Juli 2011, bahwa para agen-agen penegak hukum di Amerika melancarkan strategi ‘deconfliction’ dimana para agen tersebut, sebut saja Federal Bureau of Investigation -atau yang kita kenal dengan sebutan FBI- menyamar di dunia maya, melakukan kontak dengan target melalui media sosial tersebut untuk mengumpulkan informasi.
Strategi yang dilancarkan tersebut adalah bentuk sebuah kekhawatiran pemerintah akan dampak yang diberikan oleh media sosial, pun begitu tetap tidak membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berinternet karena target utama dari strategi tersebut adalah tindak kejahatan atau kriminalitas yang termasuk didalamnya terorisme.
Namun, secara tidak langsung pengawasan terhadap media sosial akan memberikan dampak bagi pengguna dengan sendirinya. Mereka akan merasa kebebasan mereka untuk menggunakan media tersebut terusik karena dalam setiap kali melakukan log in harus hati-hati dalam mengeluarkan pendapat melalui status atau twit, sudah barang tentu dihantui oleh rasa was-was dan khawatir seandainya salah dalam berucap atau kata-kata itu disalah tafsirkan. Dengan demikian akan terbelenggulah kebebasan berekspresi dari para pengguna.
Lalu bagaimana nasib kebebasan berekspresi di Indonesia yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 jika media sosial diawasi penggunaannya?
Secara psikologis, strategi pengawasan terhadap media sosial tersebut memang mempengaruhi. Sebab setiap kali log in, para pengguna akan merasa terus dihantui oleh bayangan pengawasan tersebut, kalau-kalau mereka salah dalam mengeluarkan pendapat atau bisa juga pendapat mereka salah ditafsirkan oleh para pihak yang diberikan wewenang dalam pengawasan tersebut. Alih-alih bebas berekspresi, justru menyentuh internet akan menjadi momok tersendiri bagi para pengguna.
Namun secara logika, tidak perlu dikhawatirkan asalkan kita dapat mengatur diri untuk lebih bijak dalam menggunakan fasilitas internet, para penggunanya tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Telah banyak contoh orang-orang yang sukses dengan memanfaatkan internet. Dan bukankah pepatah mengatakan, “Jika ingin menjadi orang yang sukses, kita harus bercermin dari orang yang telah sukses”?
Dalam sebuah ebook @linimas(s)a “Pengetahuan adalah kekuatan”, tertulis di dalamnya kisah-kisah inspiratif dan motivatif. Mulai dari yang memanfaatkan media sosial untuk mengembangkan usahanya, hingga memanfaatkan internet untuk mendulang rupiah.
Harry Van Yogya, adalah seorang tukang becak di kawasan Yogyakarta. Awalnya Mas Harry adalah seorang mahasiswa di Fakultas MIPA Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, karena kesulitan untuk biaya kuliahnya Mas Harry mengambil jalan untuk bekerja sampingan di malam hari yakni menjadi tukang becak. Sekitar tahun 1996, pria yang memiliki nama asli Blasius Haryadi ini mendapatkan penumpang yang berkewarganegaraan Amerika. Karena kelihaian Mas Harry dalam menggunakan bahasa asing, turis ini pun menjadi penumpang langganannya. Singkat cerita, untuk mempermudah bisnisnya ini, Mas Harry mulai belajar internet. Dimulai dari belajar tentang e-mail untuk mempermudah komunikasi dengan para pelanggannya, hingga mengoperasikan jejaring sosial. Dari sanalah muncul pencerahan, dimana Mas Harry mempromosikan jasa travel roda tiganya melalui jejaring sosial facebook, alhasil dengan bermodalkan kendaraan roda tiganya dan didukung pemanfaatan internet secara bijak tersebut beliau dapat mendulang rupiah dan melanggengkan usahanya.
Media sosial memang diperuntukkan mempererat tali pertemanan atau tali silaturahmi antara sesama. Namun, inilah yang disebut bilah mata pisau positif, selain bisa bersitaruahmi dapat juga dibuat bisnis. Contohnya para penjual handphone atau pun penerbit buku, mereka menggunakan sosial media untuk mempromosikan handphone-handphone atau buku-buku terbarunya dan tentunya lebih efisien dan efektif ketimbang memasang iklan di media-media cetak, bukan?
Lalu kenapa kita tidak ‘mencuri’ ilmu yang telah diterapkan oleh Mas Harry? Jika kita mempunyai kelebihan ataupun keahlian dalam bidang tertentu yang dapat dijadikan jalan untuk mendulang rupiah demi rupiah. Bagi yang tidak memiliki jasa atau buah tangan untuk dipromosikan, mungkin bisa mengambil alternatif lain. Contohnya bagi para pecinta dunia literatur, banyak grup-grup di media sosial yang menyediakan artikel-artikel bermutu tentang dunia literatur. Mulai dari tehnik menulis hingga kesempatan mengasah kemampuan menulis.
Berbicara masalah dunia literatur, salah satu kontributor dalam ebook @linimas(s)a “Pengetahuan adalah kekuatan”, siap membantu Anda. Aulia Halimatussa’diah a.k.a Salsabeela (Ollie) namanya, beliau mendirikan sebuah layanan penerbitan online berbasis self publishing, nulisbuku.com alamat websitenya. Berbeda dengan para penerbit kenamaan yang sudah terkenal dalam dunia literatur, nulisbuku.com lebih mengedepankan kesempatan setiap orang untuk menerbitkan buku, karena pada penerbit-penerbit lain termasuk agak lumayan susah agar naskah dapat diterima untuk dicetak dan diterbitkan. Sistem pada nulisbuku.com ini dengan menulis, mengedit hingga penjualan buku itu dilakukan sendiri. Setidaknya, bagi orang yang memang benar-benar ingin memiliki buku karangan sendiri, penerbit yang satu ini tidak pernah menolak naskah dan tentunya dapat membantu. So, siapkan jurnalmu dan mulailah menulis....
Sebagai penutup, tentu kita semua berharap agar kebebasan berekspresi di internet di Indonesia ini tetap terjaga. Untuk itu, mari sama-sama kita jaga kebebasan yang telah ada dengan mereguk semua manfaat internet untuk memajukan manusia-manusia Indonesia sekaligus memajukan bangsa
Zaman sudah berganti dan peradaban sudah semakin maju. Di hadapan kita begitu banyak berseliweran informasi-informasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Informasi bergulir setiap harinya, tanpa mengenal jarak dan waktu lagi. Internetlah yang menjembatani perguliran infomasi tersebut. Maka barang siapa ketinggalan informasi, bukan hanya menjadi manusia kuno bahkan memaksa manusia tersebut tertinggal oleh peradaban.
Dampak Terhadap Diri Pribadi.
Dalam dampak terhadap diri pribadi, sebagai contoh kasus Mbak Prita Mulyasari yang kembali diangkat dan mengguncangkan dunia warta Indonesia. Kisah hidup Mbak Prita merupakan contoh konkrit bagi kita, namun lain daripada itu internet justru menebar ancaman terhadap perkembangan diri pribadi terlepas dari segi jerat hukum pidana.
Menurut riset Nicholas Carr dalam bukunya yang berjudul “The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains”, internet dapat mengubah cara kerja otak kita. Lebih jauh lagi, internet memaksa kita untuk menelan informasi-informasi yang berseliweran itu secara instan, cepat dan massal sehingga membuat fikiran kita mudah teralihkan.
Tetapi tidak perlu ditakutkan, segalanya di dunia ini memang seimbang. Kebaikan tidak ada tanpa adanya keburukan, bukankah demikian? Maka tak perlu mengkhawatirkan akan dampak terhadap pribadi ini, sebab semua itu tergantung bagaimana kita me-manage diri kita sendiri sebagai pengguna.
Dampak Terhadap Kondisi Negara.
Bukan hanya terhadap diri pribadi, tetapi internet juga berdampak terhadap kondisi stabilitas sebuah negara baik dalam bidang sosial, ekonomi dan yang lebih parahnya lagi sampai memberikan dampak pada kondisi politik politik. Semua dampak yang diberikan tak lepas dari keseimbangan, yakni positif dan negatif. Contohnya Malaysia yang baru-baru ini mengalami gejolak politik dan sempat menjadi headline berita di Indonesia. Di negara-negara lain yang sempat mengalami keadaan serupa, seperti Yaman, Libya, Tunisa, Mesir, juga terpengaruh oleh dampak yang dihasilkan oleh internet.
Untuk meminimalisir adanya dampak terhadap stabilitas nasional, jelas dibutuhkan sesuatu gerakan konkrit dari pemerintah, contohnya pengawasan terhadap konten internet. Pengawasan terhadap konten internet ini sendiri bukanlah hal yang baru di Indonesia. Semenjak adanya aksi pornografi, pornoaksi, korban kekerasan baik dalam rumah tangga maupun terhadap anak, korban human traffic (penjualan manusia), hingga aksi terorisme maka pengawasan terhadap konten internet pun diperketat. Pun begitu, masyarakat Indonesia masih dapat bersyukur karena di Indonesia yang menjunjung asas demokrasi belum me-mati total-kan akses internet.
Jejaring sosial adalah sasaran utama pengawasan tersebut. Pasalnya, kecepatan tersebarnya sebuah informasi melalui media sosial adalah jalan lain yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang dan dapat menjadi ancaman terselubung bagi stabilitas sebuah negara. Ya, kita sudah mengetahui tentang boomingnya facebook beberapa tahun lalu. Dan semenjak itu, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga orangtua Indonesia berlomba-lomba mendaftar dan membuat akun facebook. Belum lagi ada twitter, tempat dimana orang dengan bebas berceloteh sesuka hati.
Sehingga para elit politik negara pun seolah ‘gerah’ dengan aksi bebas berekspresi di jejaring sosial ini, sebab dahulu masyarakat Indonesia mengeluarkan kritik-kritik mereka terhadap pemerintah melalui jalur konvensional seperti DPR atau dapat dikatakan tepat sasaran, tetapi sekarang tidak perlu repot-repot karena cukup dengan update status ataupun update twit. Jangankan sistim pemerintahan, pencipta facebook sendiri pun yang sering merubah-rubah tampilannya acap kali menjadi sasaran kritik oleh para penggunanya. Lucu memang, para penikmat fasilitas gratis mengajukan kritik kepada penyedia fasilitas gratis tersebut, tetapi itulah kenyataannya. Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia kini lebih pandai dan kritis.
Di beberapa negara maju, filterisasi terhadap media sosial juga terjadi. Hal ini diperuntukkan mengontrol kejahatan, pembajakan, melawan terorisme dan lain sebagainya. Sebagaimana telah dilansir oleh vivanews.com yang mengutip dari MSNBC, 14 Juli 2011, bahwa para agen-agen penegak hukum di Amerika melancarkan strategi ‘deconfliction’ dimana para agen tersebut, sebut saja Federal Bureau of Investigation -atau yang kita kenal dengan sebutan FBI- menyamar di dunia maya, melakukan kontak dengan target melalui media sosial tersebut untuk mengumpulkan informasi.
Strategi yang dilancarkan tersebut adalah bentuk sebuah kekhawatiran pemerintah akan dampak yang diberikan oleh media sosial, pun begitu tetap tidak membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berinternet karena target utama dari strategi tersebut adalah tindak kejahatan atau kriminalitas yang termasuk didalamnya terorisme.
Namun, secara tidak langsung pengawasan terhadap media sosial akan memberikan dampak bagi pengguna dengan sendirinya. Mereka akan merasa kebebasan mereka untuk menggunakan media tersebut terusik karena dalam setiap kali melakukan log in harus hati-hati dalam mengeluarkan pendapat melalui status atau twit, sudah barang tentu dihantui oleh rasa was-was dan khawatir seandainya salah dalam berucap atau kata-kata itu disalah tafsirkan. Dengan demikian akan terbelenggulah kebebasan berekspresi dari para pengguna.
Lalu bagaimana nasib kebebasan berekspresi di Indonesia yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28 jika media sosial diawasi penggunaannya?
Secara psikologis, strategi pengawasan terhadap media sosial tersebut memang mempengaruhi. Sebab setiap kali log in, para pengguna akan merasa terus dihantui oleh bayangan pengawasan tersebut, kalau-kalau mereka salah dalam mengeluarkan pendapat atau bisa juga pendapat mereka salah ditafsirkan oleh para pihak yang diberikan wewenang dalam pengawasan tersebut. Alih-alih bebas berekspresi, justru menyentuh internet akan menjadi momok tersendiri bagi para pengguna.
Namun secara logika, tidak perlu dikhawatirkan asalkan kita dapat mengatur diri untuk lebih bijak dalam menggunakan fasilitas internet, para penggunanya tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Telah banyak contoh orang-orang yang sukses dengan memanfaatkan internet. Dan bukankah pepatah mengatakan, “Jika ingin menjadi orang yang sukses, kita harus bercermin dari orang yang telah sukses”?
Dalam sebuah ebook @linimas(s)a “Pengetahuan adalah kekuatan”, tertulis di dalamnya kisah-kisah inspiratif dan motivatif. Mulai dari yang memanfaatkan media sosial untuk mengembangkan usahanya, hingga memanfaatkan internet untuk mendulang rupiah.
Harry Van Yogya, adalah seorang tukang becak di kawasan Yogyakarta. Awalnya Mas Harry adalah seorang mahasiswa di Fakultas MIPA Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, karena kesulitan untuk biaya kuliahnya Mas Harry mengambil jalan untuk bekerja sampingan di malam hari yakni menjadi tukang becak. Sekitar tahun 1996, pria yang memiliki nama asli Blasius Haryadi ini mendapatkan penumpang yang berkewarganegaraan Amerika. Karena kelihaian Mas Harry dalam menggunakan bahasa asing, turis ini pun menjadi penumpang langganannya. Singkat cerita, untuk mempermudah bisnisnya ini, Mas Harry mulai belajar internet. Dimulai dari belajar tentang e-mail untuk mempermudah komunikasi dengan para pelanggannya, hingga mengoperasikan jejaring sosial. Dari sanalah muncul pencerahan, dimana Mas Harry mempromosikan jasa travel roda tiganya melalui jejaring sosial facebook, alhasil dengan bermodalkan kendaraan roda tiganya dan didukung pemanfaatan internet secara bijak tersebut beliau dapat mendulang rupiah dan melanggengkan usahanya.
Media sosial memang diperuntukkan mempererat tali pertemanan atau tali silaturahmi antara sesama. Namun, inilah yang disebut bilah mata pisau positif, selain bisa bersitaruahmi dapat juga dibuat bisnis. Contohnya para penjual handphone atau pun penerbit buku, mereka menggunakan sosial media untuk mempromosikan handphone-handphone atau buku-buku terbarunya dan tentunya lebih efisien dan efektif ketimbang memasang iklan di media-media cetak, bukan?
Lalu kenapa kita tidak ‘mencuri’ ilmu yang telah diterapkan oleh Mas Harry? Jika kita mempunyai kelebihan ataupun keahlian dalam bidang tertentu yang dapat dijadikan jalan untuk mendulang rupiah demi rupiah. Bagi yang tidak memiliki jasa atau buah tangan untuk dipromosikan, mungkin bisa mengambil alternatif lain. Contohnya bagi para pecinta dunia literatur, banyak grup-grup di media sosial yang menyediakan artikel-artikel bermutu tentang dunia literatur. Mulai dari tehnik menulis hingga kesempatan mengasah kemampuan menulis.
Berbicara masalah dunia literatur, salah satu kontributor dalam ebook @linimas(s)a “Pengetahuan adalah kekuatan”, siap membantu Anda. Aulia Halimatussa’diah a.k.a Salsabeela (Ollie) namanya, beliau mendirikan sebuah layanan penerbitan online berbasis self publishing, nulisbuku.com alamat websitenya. Berbeda dengan para penerbit kenamaan yang sudah terkenal dalam dunia literatur, nulisbuku.com lebih mengedepankan kesempatan setiap orang untuk menerbitkan buku, karena pada penerbit-penerbit lain termasuk agak lumayan susah agar naskah dapat diterima untuk dicetak dan diterbitkan. Sistem pada nulisbuku.com ini dengan menulis, mengedit hingga penjualan buku itu dilakukan sendiri. Setidaknya, bagi orang yang memang benar-benar ingin memiliki buku karangan sendiri, penerbit yang satu ini tidak pernah menolak naskah dan tentunya dapat membantu. So, siapkan jurnalmu dan mulailah menulis....
Sebagai penutup, tentu kita semua berharap agar kebebasan berekspresi di internet di Indonesia ini tetap terjaga. Untuk itu, mari sama-sama kita jaga kebebasan yang telah ada dengan mereguk semua manfaat internet untuk memajukan manusia-manusia Indonesia sekaligus memajukan bangsa
0 komentar:
Posting Komentar
Attention
Komentar anda sangat diharapkan agar blog ini menjadi blog yang lebih baik. dan diharapkan juga untuk Memberi Koment Yang Membangun, no spam ya Gan
admin rustihell